Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, January 20, 2005

"Asal Lokasi Tidak Jauh, Bersedia Pindah..."

Pemerintah memutuskan untuk merelokasi warga Aceh dan Sumatera Utara yang menjadi korban bencana Tsunami. Selama ini, mereka bertahan di lokasi-lokasi pengungsian. Mereka akan dipindahkan ke barak-barak semipermanen yang akan ditempati selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Dalam rekonstruksi yang lebih permanen, pemerintah akan selalu berdialog dengan masyarakat Aceh dan Sumatera Utara untuk mempertahankan ciri khas setempat. Laporan seputar relokasi warga orban bencan Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, disusun Komang Ariani.

***

Roda pemerintahan di Aceh Barat akan segera berjalan, menyusul rampungnya relokasi pengungsi korban bencana gempa dan tsunami yang sudah tiga minggu mengungsi di Kantor Bupati Aceh Barat. Warga kini direlokasikan ke penampungan sementara di kawasan Lapang, Kecamatan Johan Pahlawan; di kawasan Alue Peunyareng, Kecamatan Meyreybo; dan di Lapangan Aron Jaya Kaway VI.

Setelah Aceh Barat, Pemerintah juga berencana merelokasi ratusan ribu pengungsi yang saat ini tersebar di 64 lokasi ke sejumlah barak yang akan didirikan di 24 titik. Di barak-barak semi permanen itu mereka akan tinggal selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Di masing-masing barak ini, setiap keluarga akan menempati 1 kamar dengan dilengkapi fasilitas untuk kawasan permukiman.

Menurut Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto dengan relokasi ini pemerintah bermaksud menciutkan lokasi penampungan para pengungsi. Kalau terlalu banyak bisa menyulitkan koordinasi dalam memantau, menyalurkan bantuan dan kebutuhan penghuni barak, seperti makanan, pendidikan.

"Mereka juga akan kita bangunkan akses menuju ke tempat-tempat yang ramai, ke tempat jalan-jalan yang besar. Belum merupakan tempat tinggal akhir. Saat kita melakukan rekonstruksi akan kita atur sistem-sistem permukiman, jadi tata ruang," ujar Joko Kirmanto.

***

Di kabupaten Bierun, relokasi akan dilakukan di lima titik. Satu titik dijadwalkan sudah rampung dalam 2 minggu kedepan dengan jumlah pengungsi mencapai 4000-7000 pengungsi.

Menurut Bupati Bireun Mustafa Glanggang, di kabupatennya saat ini yang berada di berbagai titik pengungsian mencapai 16 ribu jiwa. Barak-barak yang nantinya ditempati pengungsi dibuat dari bahan papan dan seng, karena bisa dibuat dalam waktu singkat.

"Seperti barak, 3-4 orang satu barak. Dibuat dari kayu atapnya seng, lantainya papan. Ketinggian dari lantai 60 cm. setiap titik ada sampai lima-6 barak. Dilengkapi dengan pos kesehatan, pos keamanan, dapur umum, wc, sehingga mereka kita jamin hidup tenang dalam dua tahun itu," kata Mustafa Glanggang.

Menurut Mustafa Gelanggang, pemindahan penduduk dari tempat asalnya ini berjarak rata-rata 0 hingga 5 km. Dia mengatakan sebagian masyarakat memang menolak pindah dengan alasan jauh, namun pemerintah daerah menjanjikan akan menyediakan transportasi untuk mengangkut mereka.

***

Sambutan masyarakat Aceh atas rencana relokasi ini cukup beragam. Yanti misalnya salah seorang pengungsi di Ule Karing, Banda Aceh dalam keterangannya kepada reporter Prima FM Banda Aceh, Nursafri Muarif, menyatakan ia beserta keluarga tidak tahan lagi lebih lama berada di lokasi pengungsian. Jika barak-barak yang nanti mereka tempati memang lebih baik, ia menyatakan bersedia untuk pindah asalkan lokasinya tidak terlalu jauh.

"Asalkan, jangan sampai di lung karena dekat laut. Kita berharap (pindah) ke kawasan yang dekat saja," katanya.

Senada diungkapkan pengungsi lainnya bernama Sabri. Ia tidak keberatan untuk pindah asal juga dipikirkan pekerjaan di tempat asal. Selain itu berharap tempat yang baru lokasinya tidak jauh dari kota dan transportasinya lancar

Bisa dibayangkan untuk merelokasi pengungsi yang jumlahnya ratusan ribu jiwa bila satu lokasi akan dihuni sekitar 16.500 orang, sama dengan kapasitas sebuah stadion sepakbola. Apakah pemerintah sudah memikirkan berbagai aspek yang akan timbul?

***

Pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya menyarankan sebuah pendekatan berbeda untuk penanganan permukiman penduduk daripada sebuah relokasi. Hal ini jika berkaca dari apa yang dilakukan di Gujarat, India saat negara itu dilanda gempa bumi dashyat.

Menurut Marco sebaiknya masyarakat dibiarkan membangun sendiri rumahnya dan bersifat permanen. Selain menyerap tenaga kerja di Aceh, cara ini dinilai ampuh untuk menyemangati masyarakat Aceh menatap masa depan.

"Aceh (itu dalam waktu enam bulan mereka bisa membangun 22 ribu unit rumah yang disebut swabangun, pemeritah sebagai pendukung hanya menyediakan bahan bangunan..," kata Marco.

Marco menambahkan relokasi hanya akan menambah masalah baru, karena Jika relokasi tetap dilakukan, apa yang pernah terjadi di lokasi-lokasi bencana di Turki dan Kolumbia akan terjadi. Rumah-rumah ini cenderung tidak ditinggali, atau ditinggali oleh mereka yang sangat miskin untuk dijadikan pemukiman permanen. Dampak lainnya, mereka tak merasa memiliki rumah-rumah ini, karena mereka hanya termangu menunggu rumah-rumah mereka diselesaikan oleh para kontraktor.

Tim Liputan 68h Jakarta