Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Wednesday, January 26, 2005

"Bisnis Militer, BUMN 'Kan Saja..."

Bisnis militer ibarat gurita berkaki seribu. Beragam perusahaan dan jenis usaha yang berbentuk yayasan berlindung di dalamnya. Bisnis ini tersebar baik di Angkatan Darat, Angkatan Laut maupun Angkatan Udara. Selain dituding tidak profesional, sejumlah kalangan juga mengkritik tertutupnya pengelolaan usaha itu. Menjawab tudingan itu, Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI berencana membuat induk usaha untuk menyatukan seluruh unit usaha yang ada. Laporan disusun Taufik Wijaya.

***

BISNIS tentara, bukan hal yang baru. Selain urusan keamanan, Tentara juga melek bisnis. Sebut saja beberapa yayasan seperti Yayasan Kartika Eka Paksi dan Dharma Putra Kostrad yang dikelola TNI Angkatan Darat. Belum lagi yayasan lain yang dikelola angkatan lain seperti Yayasan Bhumyamca yang dikelola Angkatan laut. Sementara, Angkatan Udara terkenal dengan Yayasan Adi Upaya–nya. Beberapa yayasan itu memayungi ratusan perusahaan yang bergerak dari sektor hilir hingga hulu; dari urusan beras sampai pesawat.

Maraknya bisnis tentara itu kini mendapat kritikan. Ketertutupan pengelolaan, menjadi salah satu celanya. Departemen Pertahanan pun langsung bersikap. Departemen ini kini bersama Mabes TNI berencana menggabungkan seluruh unit usaha ke dalam sebuah induk usaha atau Holding Company. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, rencana itu masih dibahas dalam kelompok kerja (Pokja) Dephan Mabes TNI.

Menanggapi rencana itu, Menteri Negara BUMN, Sugiharto mengatakan penggabungan bisnis TNI itu baru tahap sosialisasi. Menurut dia, dari aspek hukum, sejumlah Yayasan dan koperasi yang dikelola TNI dimungkinkan digabung menjadi induk usaha atau BUMN.

"Ya, belum tentu bisa. Harus ada catatannya. Saya tidak mengatakan 'bisa'. Saya melihat, aspek hukumnya seperti apa. Saya belum menginventarisasi aset, apakah PT, yayasan, atau induk koperasi, saya belum mapping. Jadi, saya sedang minta Menteri Pertahanan, apa saja yang disebut bisnis unit tentara," kata Sugiharto.

Sementara, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Syafrie Sjamsudin saat dihubungi 68H mengatakan, Ia belum tahu detail rencana itu. Syafrie hanya berujar, pokja masih menggodok rencana yang paling lambat diterapkan tahun 2009 mendatang itu.

Bagaimana tanggapan DPR soal ini? Anggota Komisi I DPR, Abdillah Toha mengatakan, Ia tidak mempermasalahkan bentuk pengelolaan usaha milik TNI, apakah akan disatukan dalam satu induk usaha atau berbentuk BUMN. Menurut dia, yang terpenting adalah aset usaha TNI di serahkan kepada pemerintah.

"Jadi, bukan holding company atau BUMN. Holding company itu kan bentuk saja. Jadi, bisa saja berupa unit-unit usaha yang berdiri sendiri, atau dikelompokkan dalam holding company. Yang jadi pertanyaan, apakah holding company itu BUMN atau tidak? Tapi seharusnya memang holding company itu milik pemerintah," kata Abdillah Toha.

Toha meminta, pemerintah dan TNI perlu mendata jumlah yayasan dan koperasi yang ada.

Senada dengan Toha, Aktivis lembaga anti korupsi ICW, Danang Widyoko mengatakan, sangat sulit memperkirakan jumlah aset yang dimiliki yayasan-yayasan yang dikelola tentara. Karena bisnis ini tidak tembus oleh audit publik, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kalaupun BPK mengaudit anggaran Dephan, termasuk di dalamnya anggaran TNI, tidak menyentuh sampai anggaran sampingan militer atau nonbudgeter.

Danang menilai tidak ada perubahan penting dari rencana itu. Menurut dia, tentara doiloarang menerima dana dari luar pemerintah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. Jika itu terjadi, maka TNI menyalahi Undang-Undang pertahanan. Menurut Danang kegiatan usaha yang dikelola korps baju hijau sebaiknya berbentuk BUMN.

"Harusnya, rekomendasi kita itu, itu dijadikan BUMN, yaitu unit usaha pemerintah. Prinsipnya, apa pun itu bentuknya, semua dana pembiayaan negara itu harus ditanggung negara. Karena tentara itu alat negara, sehingga pembiayaan itu harus dari negara, tidak boleh dari sumber lain. Seharusnya memang dijadikan BUMN, supaya apa, dananya masuk ke APBN," kata Danang Widoyoko.

Danang menegaskan, perlu ada pemisahan yang tegas antara aset negara dengan unit usaha yang dikelola TNI. Sebab bisnis militer bukan sekadar bisnis yang dikelola oleh seorang jendral atau perorangan tetapi juga milik negara. Selain itu dana yang dikelola sejumlah unit usaha milik TNI harus dimasukkan dalam APBN.

Tim Liputan 68H Jakarta

"Nol Kecil" Untuk Gizi

Dalam enam bulan terakhir, 5000-an anak balita atau anak di bawah usia lima tahun di Kabupaten Bogor, Jawa Barat tercatat kurang gizi. Sedangkan, di provinsi Jawa Timur sebanyak 38 ribu anak-anak kurang gizi. Menyambut Hari Gizi dan Makanan yang jatuh setiap 25 Januari, berikut laporan mengenai peranan pemerintah dan kendala yang dihadapinya dlm mengurangi jumlah anak bergizi buruk di Indonesia. Disusun Monique Rijkers.

***

Enam bulan terakhir ini, 5000-an anak balita atau anak di bawah lima tahun di Kabupaten Bogor, Jawa Barat tercatat kurang gizi. Sementara di provinsi Jawa Timur, dari 3,6 juta balita, sebanyak 38 ribu juga menunjukkan gejala yang sama. Jika kita menghitung di seluruh kabupaten yang ada di Indonesia, jumlah penderita jelas akan berkali lipat dari sekedar angka di Jawa Timur maupun sebuah kabupaten di Jawa Barat.

Pemerintah menyebutkan secara Indonesia menghadapi empat masalah gizi utama, yaitu kurang energi protein (KEP), anemia zat besi, kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Satu persatu mulai diusahakan untuk dipenuhi oleh pemerintah. Menurut Kepala Sub Direktorat Gizi Mikro Departemen Kesehatan Soenarko, hampir 50% balita Indonesia menderita anemia. Jumlah yang sama, hampir 50% balita Indonesia kekurangan vitamin A. Sedangkan untuk yodium, sekitar 11% wilayah di Indonesia endemik yodium atau menderita kekurangan yodium sangat parah. Soenarko menyatakan pemerintah pusat sudah mengambil langkah-langkah guna mengurangi anak-anak kurang gizi.

"Kita tentunya melakukan prevensi atau pencegahan. Seperti, bulan Februari ini, kita ada distribusi kapsul vitamin A secara gratis untuk anak balita. Kita berikan juga tablet zat besi untuk masalah anemia pada ibu hamil, yang berbahaya bila kekurangan zat besi. Dan untuk GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) kita berikan pada daerah yang endemik berat. Untuk daerah yang tidak berat endemik, kita promosikan garam beryodium," kata Soenarko.

Sebuah cerita mengenaskan pernah terjadi di tahun 2002 di Padang, Sumatera Barat saat tiga penderita busung lapar meninggal dunia dan ribuan anak balita lainnya menderita kekurangan gizi dengan sangat parah. Angka internasional menyebutkan kelaparan dan kekurangan gizi telah menewaskan lebih dari lima juta anak-anak di seluruh dunia tiap tahunnya dan merugikan negara sedang berkembang hingga miliaran dolar Amerika karena hilangnya produktivitas. Menurut laporan badan PBB Urusan Pangan (FAO) hingga tahun 2015 mendatang di targetkan anak-anak penderita kurang gizi akan berkurang hingga 50%. Bagaimana dengan Indonesia?

Implementasi langkah-langkah itu, menurut Soenarko, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk urusan pendanaan. Di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, misalnya pemerintah setempat menerapkan pemberian bantuan makanan tambahan selama tiga bulan bagi anak-anak sekolah dengan status gizi buruk. Setiap anak diberi jatah 5000 rupiah perhari. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Solok Azwar Hijar program ini melibatkan dinas pendidikan disana.

"Kita sudah punya standar. Saya tidak begitu paham, apa saja yang diberikan, karena itu masalah teknis di lapangan. Jadi kita serahkan saja pada petugas gizi. Dulu, kita berikan secara seragam; ada susu, telor. Malah ada yang tidak suka susu, ada yang tidak suka telor, jadi kita serahkan saja pada Puskesmas, apa maunya anak itu asal nilai gizinya tidak kurang," kata Azwar Hijar.

Bukan itu saja, Azwar Hijar menambahkan penyuluhan gizi juga dilakukan bagi anak-anak balita. Dana pun tersedia untuk setiap posyandu sebesar 50 ribu rupiah saban bulannya yang akan diberikan selama setahun.

Setiap 25 Januari, di Indonesia dicatat sebagai Hari Gizi dan Makanan. Masalah kekurangan gizi pada anak-anak telah menahun dan setiap tahun langkah yang ditempuh bisa dikatakan hampir sama yaitu penyuluhan dan pemberian makanan tambahan di sekolah-sekolah. Ahli gizi FG Winarno berpendapat langkah tersebut bakal sia-sia jika hanya dilakukan sementara.

"Untuk intervensi gizi pada makanan, harus dilakukan secara berkelanjutan. Dan ini, relatif mahal biayanya, apalagi kalau produknya harus dengan cara membeli. Misalnya susu, ini baik sekali tapi jangan putus di jalan. Kasihan sekali, kalau anak-anak kebagian susu terus selanjutnya tidak bisa beli. Tapi untuk intervensi vitamin A, menurut saya penting sekali," ujar Winarno.

Penuturan Winarno bukan tanpa bukti. Kita bisa melihat program makanan tambahan di Solok – Sumatera Barat, yang hanya berlangsung selama tiga bulan. Sementara pemberian vitamin A gratis hanya sekali setahun. Bisa jadi, ketiadaan solusi yang menyeluruh yang menyebabkan jumlah anak-anak kekurangan gizi terus menerus ada, meski tidak melulu bertambah. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pun berjanji perbaikan gizi ini masuk dalam program 100 harinya sebagai Menteri Kesehatan.

Jika merujuk ketentuan yang ada, tanggung jawab pemenuhan gizi tak cuma berada di pundak pemerintah. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menyebutkan para orang tua bertanggung jawab dan wajib memberikan hak tumbuh kembang bagi anak-anaknya, termasuk pemenuhan gizi. Persoalanya, tak semua orang tua mampu melakukannya. Faktor kemiskinan sering menjadi kendala utama orang tua memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya.

Pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998 Amartya Sen mengatakan masalah kelaparan dan kekurangan gizi lebih banyak merupakan masalah ekonomi politik ketimbang masalah klinis biologis. Maksudnya, seringkali ketimpangan ekonomi menjadi penyebab balita kurang gizi daripada kurangnya bahan makanan.

Itu mengingatkan dengan apa yang terjadi di Aceh sekarang ini. Ada banyak bantuan pangan untuk anak korban tsunami. Namun itu belum memenuhi standar gizi sebagaimana mestinya.

Seorang bocah korban bencana tsunami di pengungsian Meulaboh. Mirzad Sutra, 12 tahun mengaku setiap hari hanya makan nasi dan mie instan, atau nasi dan ikan asin. Pagi hari ia memang mengaku mendapat susu satu kotak kecil---seukuran gelas. Selebihnya, tidak ada makanan lain. Reporter 68H di Meulaboh, Fariansyah melaporkan, dari 200 orang yang sakit setiap harinya, 30% merupakan anak-anak.

Sebuah catatan menyebutkan, dalam sepuluh tahun terakhir, kondisi gizi anak Indonesia tidak beranjak membaik. Peringkat Human Development Index atau Index Pembangunan Manusia Indonesia masih berada di urutan 112 dari 175 negara. Kenyataan yang menyedihkan, bagi anak Indonesia dan negeri ini. Nol besar, atau nol kecil, tetap saja nol.

Monique Rijkers, Fariansyah - 68H

Kusta, Bukan Kutukan

Banyak orang bilang Kusta adalah sebuah penyakit akibat sebuah kutukan. Rasa rendah diri dan diskriminasi dari orang lain sering kali dialami penderita kusta dalam kehidupan sehari-hari. Di akhir bulan Januari ini, upaya pemerintah menanggulangi penyakit ini mulai terdengar lagi Salah satu upaya negara dengan jumlah penderita kusta terbesar di dunia ini adalah menata ulang pandangan masyarakat terhadap penderita kusta. Laporan disusun Nanda Hidayat.

***

Tanggal 25 Januari, selalu diperingati sebagai Hari Kusta atau Lepra Sedunia. Hari Kusta Sedunia, ada juga yang memperingati setiap tanggal 30 Januari.

Sejarah penyakit Kusta, menjadi catatan penting, ketika pada 25 Januari 1873, seorang dokter asal Norwegia, Armuer Hansen berhasil menemukan mikroba penyebab penyakit lepra, yang diberi nama Mycobacterium leprae. Penyakit lepra kemudian disebut juga sebagai Penyakit Hansen atau Hansen Disease. Penyakit ini telah muncul sejak ratusan tahun sebelumnya, namun baru pada tahun 1873 ditemukan penyebabnya. Penemuan mikroba ini membuat proses pengobatan penyakit lepra mengalami kemajuan. Obat terbaru yang dianggap sebagai kemajuan besar dalam sejarah lepra adalah MDT (multidrug therapy) yang diproduksi tahun 1982 oleh WHO. Obat itu menunjukkan keberhasilan signifikan di berbagai daerah endemik lepra di dunia.

***

Memasuki tahun 2005, jumlah penderita kusta di Indonesia sudah melampaui angka 200 ribu. Mereka tersebar di sejumlah daerah, khususnya di Jawa Timur, Sulawesi dan Papua. Berbagai macam upaya pengobatan telah dilakukan pemerintah. Banyak yang berhasil, walau pemerintah harus terbentur pada satu masalah: pemulihan citra diri bekas penderita kusta.

"Sulit menghilangkan stigma bahwa penyakit kusta sulit menular di dalam masyarakat, itu membutuhkan waktu yang lama. Padahal sekarang sudah ada obatnya dan tidak sulit menular. Program penyembuhan terus diintensifkan dan kebanyakan orang takut bukan kustanya tapi cacat yang disebabkan kusta," kata Koordinator Yayasan Kusta Indonesia, Diana Liben.

Salah kaprah! Mungkin demikian yang terjadi dalam pandangan masyarakat terhadap penderita kusta. Diana mengatakan banyak bekas penderita kusta mengeluh. Mereka bilang banyak orang---seakan menjadi dokter ahli kusta---dengan memandang miring mereka, walau dokter ahli yang sebenarnya telah memutuskan mereka sembuh total. Akhirnya, mereka, para bekas penderita kusta itu jatuh pada penderitaan selanjutnya, yaitu diskriminasi dan tekanan hidup dari sesama. Memang mereka menderita cacat fisik akibat kusta itu, tapi mereka tetap manusia yang punya harga asasi.

Inilah yang kini tengah coba ditangani pemerintah, seperti dituturkan Direktur Pemberantasan Penyakit Menular Departemen Kesehatan Haikin Rachmat.

"Makanya sistem sosialisasi kita lakukan kepada masyarakat luas dan juga keluarga. Penyakit ini menimbulkan rasa malu dan rendah diri, bahkan sebagian besar pasien yang meningal itu bukan karena penyakit kustanya, melainkan dari tekanan psikologis yang sangat kuat," kata Haikin Rachmat.

Selanjutnya, Haikin Rachmat mengatakan pemerintah akan menekan jumlah pengidap kusta hingga 2008 nanti. Salah satu cara menekan jumlah, adalah mengetahui jumlah mereka secara tepat. Ini susahnya, karena kebanyakan keluarga Indonesia malu memberitahu keberadaan anggota keluarga mereka yang menderita kusta. Karena itu, perintah tegas pun turun dari pusat ke jajaran di daerah. Satu tugas mereka adalah mendata secara tepat para penderita kusta hingga pelosok daerah.

Pemulihan rasa malu dan rendah diri dari para bekas penderita kusta seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah, selain upaya penyembuhan. Untuk itu, sepertinya kita bisa mengatakan pemerintah kurang memperhatikan upaya pemulihan bekas penderita kusta. Departemen Sosial pun mengakui minimnya jumlah tempat rehabilitasi bekas penderita kusta di Indonesia. Walau posisi terbesar di dunia disandang Indonesia, namun negeri ini hanya memiliki satu tempat rehabilitasi. Namun Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial Robinson Saragih berkelit, saat ini pemerintah menilai cukup dengan adanya tempat rehabilitasi di sejumlah rumah sakit dan yayasan.

"Ada dua jenis didalam dan luar panti, dalam hanya ada di Maluku Utara. Kesulitannya, masyarakat berpandangan bekas penderita kusta masih membawa penyakitnya. Padahal itu sudah sudah menular. Belum semua masyarakat umum yang mau menerima," kata Robinson Saragih.

Sosialisasi gejala dan penyembuhan penyakit kusta sepertinya menjadi salah satu bahan program penanganan penyakit ini secara menyeluruh. Masyarakat harus disadarkan sebenarnya penyakit kusta bukan kutukan dan bisa disembuhkan. Asalkan dilaporkan sedini mungkin ke pusat layanan kesehatan terdekat. Seorang dokter rumah sakit Sumberglagah, Mojokerto, Jawa Timur, Nanang Koeshardjo.

"Kita terus proaktif kelapangan dengan menyebarkan informasi, selain itu kita juga harus tau gejala awalnya, seperti bintik putih tanpa rasa apapun jika ditusuk, terutama ditangan dan kaki," ujar Nanang Koeshardjo.

Menurut dokter Nanang, kusta dapat diobati hanya dengan waktu enam bulan hingga satu tahun. Setelah itu, si penderita akan sembuh total, walau ada kemungkinan menderita cacat. Jadi, tunggu apalagi masyarakat Indonesia! Sudah saatnya kini masyarakat di sekitar bekas penderita kusta tinggal menjadi pusat rehabilitasi massal. Mendukung penyembuhan mereka dan memperlakukan mereka selayaknya seorang manusia.

Nanda Hidayat - 68H Jakarta