Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Wednesday, January 26, 2005

"Nol Kecil" Untuk Gizi

Dalam enam bulan terakhir, 5000-an anak balita atau anak di bawah usia lima tahun di Kabupaten Bogor, Jawa Barat tercatat kurang gizi. Sedangkan, di provinsi Jawa Timur sebanyak 38 ribu anak-anak kurang gizi. Menyambut Hari Gizi dan Makanan yang jatuh setiap 25 Januari, berikut laporan mengenai peranan pemerintah dan kendala yang dihadapinya dlm mengurangi jumlah anak bergizi buruk di Indonesia. Disusun Monique Rijkers.

***

Enam bulan terakhir ini, 5000-an anak balita atau anak di bawah lima tahun di Kabupaten Bogor, Jawa Barat tercatat kurang gizi. Sementara di provinsi Jawa Timur, dari 3,6 juta balita, sebanyak 38 ribu juga menunjukkan gejala yang sama. Jika kita menghitung di seluruh kabupaten yang ada di Indonesia, jumlah penderita jelas akan berkali lipat dari sekedar angka di Jawa Timur maupun sebuah kabupaten di Jawa Barat.

Pemerintah menyebutkan secara Indonesia menghadapi empat masalah gizi utama, yaitu kurang energi protein (KEP), anemia zat besi, kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Satu persatu mulai diusahakan untuk dipenuhi oleh pemerintah. Menurut Kepala Sub Direktorat Gizi Mikro Departemen Kesehatan Soenarko, hampir 50% balita Indonesia menderita anemia. Jumlah yang sama, hampir 50% balita Indonesia kekurangan vitamin A. Sedangkan untuk yodium, sekitar 11% wilayah di Indonesia endemik yodium atau menderita kekurangan yodium sangat parah. Soenarko menyatakan pemerintah pusat sudah mengambil langkah-langkah guna mengurangi anak-anak kurang gizi.

"Kita tentunya melakukan prevensi atau pencegahan. Seperti, bulan Februari ini, kita ada distribusi kapsul vitamin A secara gratis untuk anak balita. Kita berikan juga tablet zat besi untuk masalah anemia pada ibu hamil, yang berbahaya bila kekurangan zat besi. Dan untuk GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) kita berikan pada daerah yang endemik berat. Untuk daerah yang tidak berat endemik, kita promosikan garam beryodium," kata Soenarko.

Sebuah cerita mengenaskan pernah terjadi di tahun 2002 di Padang, Sumatera Barat saat tiga penderita busung lapar meninggal dunia dan ribuan anak balita lainnya menderita kekurangan gizi dengan sangat parah. Angka internasional menyebutkan kelaparan dan kekurangan gizi telah menewaskan lebih dari lima juta anak-anak di seluruh dunia tiap tahunnya dan merugikan negara sedang berkembang hingga miliaran dolar Amerika karena hilangnya produktivitas. Menurut laporan badan PBB Urusan Pangan (FAO) hingga tahun 2015 mendatang di targetkan anak-anak penderita kurang gizi akan berkurang hingga 50%. Bagaimana dengan Indonesia?

Implementasi langkah-langkah itu, menurut Soenarko, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk urusan pendanaan. Di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, misalnya pemerintah setempat menerapkan pemberian bantuan makanan tambahan selama tiga bulan bagi anak-anak sekolah dengan status gizi buruk. Setiap anak diberi jatah 5000 rupiah perhari. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Solok Azwar Hijar program ini melibatkan dinas pendidikan disana.

"Kita sudah punya standar. Saya tidak begitu paham, apa saja yang diberikan, karena itu masalah teknis di lapangan. Jadi kita serahkan saja pada petugas gizi. Dulu, kita berikan secara seragam; ada susu, telor. Malah ada yang tidak suka susu, ada yang tidak suka telor, jadi kita serahkan saja pada Puskesmas, apa maunya anak itu asal nilai gizinya tidak kurang," kata Azwar Hijar.

Bukan itu saja, Azwar Hijar menambahkan penyuluhan gizi juga dilakukan bagi anak-anak balita. Dana pun tersedia untuk setiap posyandu sebesar 50 ribu rupiah saban bulannya yang akan diberikan selama setahun.

Setiap 25 Januari, di Indonesia dicatat sebagai Hari Gizi dan Makanan. Masalah kekurangan gizi pada anak-anak telah menahun dan setiap tahun langkah yang ditempuh bisa dikatakan hampir sama yaitu penyuluhan dan pemberian makanan tambahan di sekolah-sekolah. Ahli gizi FG Winarno berpendapat langkah tersebut bakal sia-sia jika hanya dilakukan sementara.

"Untuk intervensi gizi pada makanan, harus dilakukan secara berkelanjutan. Dan ini, relatif mahal biayanya, apalagi kalau produknya harus dengan cara membeli. Misalnya susu, ini baik sekali tapi jangan putus di jalan. Kasihan sekali, kalau anak-anak kebagian susu terus selanjutnya tidak bisa beli. Tapi untuk intervensi vitamin A, menurut saya penting sekali," ujar Winarno.

Penuturan Winarno bukan tanpa bukti. Kita bisa melihat program makanan tambahan di Solok – Sumatera Barat, yang hanya berlangsung selama tiga bulan. Sementara pemberian vitamin A gratis hanya sekali setahun. Bisa jadi, ketiadaan solusi yang menyeluruh yang menyebabkan jumlah anak-anak kekurangan gizi terus menerus ada, meski tidak melulu bertambah. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pun berjanji perbaikan gizi ini masuk dalam program 100 harinya sebagai Menteri Kesehatan.

Jika merujuk ketentuan yang ada, tanggung jawab pemenuhan gizi tak cuma berada di pundak pemerintah. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menyebutkan para orang tua bertanggung jawab dan wajib memberikan hak tumbuh kembang bagi anak-anaknya, termasuk pemenuhan gizi. Persoalanya, tak semua orang tua mampu melakukannya. Faktor kemiskinan sering menjadi kendala utama orang tua memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya.

Pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998 Amartya Sen mengatakan masalah kelaparan dan kekurangan gizi lebih banyak merupakan masalah ekonomi politik ketimbang masalah klinis biologis. Maksudnya, seringkali ketimpangan ekonomi menjadi penyebab balita kurang gizi daripada kurangnya bahan makanan.

Itu mengingatkan dengan apa yang terjadi di Aceh sekarang ini. Ada banyak bantuan pangan untuk anak korban tsunami. Namun itu belum memenuhi standar gizi sebagaimana mestinya.

Seorang bocah korban bencana tsunami di pengungsian Meulaboh. Mirzad Sutra, 12 tahun mengaku setiap hari hanya makan nasi dan mie instan, atau nasi dan ikan asin. Pagi hari ia memang mengaku mendapat susu satu kotak kecil---seukuran gelas. Selebihnya, tidak ada makanan lain. Reporter 68H di Meulaboh, Fariansyah melaporkan, dari 200 orang yang sakit setiap harinya, 30% merupakan anak-anak.

Sebuah catatan menyebutkan, dalam sepuluh tahun terakhir, kondisi gizi anak Indonesia tidak beranjak membaik. Peringkat Human Development Index atau Index Pembangunan Manusia Indonesia masih berada di urutan 112 dari 175 negara. Kenyataan yang menyedihkan, bagi anak Indonesia dan negeri ini. Nol besar, atau nol kecil, tetap saja nol.

Monique Rijkers, Fariansyah - 68H