Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Wednesday, January 26, 2005

Kusta, Bukan Kutukan

Banyak orang bilang Kusta adalah sebuah penyakit akibat sebuah kutukan. Rasa rendah diri dan diskriminasi dari orang lain sering kali dialami penderita kusta dalam kehidupan sehari-hari. Di akhir bulan Januari ini, upaya pemerintah menanggulangi penyakit ini mulai terdengar lagi Salah satu upaya negara dengan jumlah penderita kusta terbesar di dunia ini adalah menata ulang pandangan masyarakat terhadap penderita kusta. Laporan disusun Nanda Hidayat.

***

Tanggal 25 Januari, selalu diperingati sebagai Hari Kusta atau Lepra Sedunia. Hari Kusta Sedunia, ada juga yang memperingati setiap tanggal 30 Januari.

Sejarah penyakit Kusta, menjadi catatan penting, ketika pada 25 Januari 1873, seorang dokter asal Norwegia, Armuer Hansen berhasil menemukan mikroba penyebab penyakit lepra, yang diberi nama Mycobacterium leprae. Penyakit lepra kemudian disebut juga sebagai Penyakit Hansen atau Hansen Disease. Penyakit ini telah muncul sejak ratusan tahun sebelumnya, namun baru pada tahun 1873 ditemukan penyebabnya. Penemuan mikroba ini membuat proses pengobatan penyakit lepra mengalami kemajuan. Obat terbaru yang dianggap sebagai kemajuan besar dalam sejarah lepra adalah MDT (multidrug therapy) yang diproduksi tahun 1982 oleh WHO. Obat itu menunjukkan keberhasilan signifikan di berbagai daerah endemik lepra di dunia.

***

Memasuki tahun 2005, jumlah penderita kusta di Indonesia sudah melampaui angka 200 ribu. Mereka tersebar di sejumlah daerah, khususnya di Jawa Timur, Sulawesi dan Papua. Berbagai macam upaya pengobatan telah dilakukan pemerintah. Banyak yang berhasil, walau pemerintah harus terbentur pada satu masalah: pemulihan citra diri bekas penderita kusta.

"Sulit menghilangkan stigma bahwa penyakit kusta sulit menular di dalam masyarakat, itu membutuhkan waktu yang lama. Padahal sekarang sudah ada obatnya dan tidak sulit menular. Program penyembuhan terus diintensifkan dan kebanyakan orang takut bukan kustanya tapi cacat yang disebabkan kusta," kata Koordinator Yayasan Kusta Indonesia, Diana Liben.

Salah kaprah! Mungkin demikian yang terjadi dalam pandangan masyarakat terhadap penderita kusta. Diana mengatakan banyak bekas penderita kusta mengeluh. Mereka bilang banyak orang---seakan menjadi dokter ahli kusta---dengan memandang miring mereka, walau dokter ahli yang sebenarnya telah memutuskan mereka sembuh total. Akhirnya, mereka, para bekas penderita kusta itu jatuh pada penderitaan selanjutnya, yaitu diskriminasi dan tekanan hidup dari sesama. Memang mereka menderita cacat fisik akibat kusta itu, tapi mereka tetap manusia yang punya harga asasi.

Inilah yang kini tengah coba ditangani pemerintah, seperti dituturkan Direktur Pemberantasan Penyakit Menular Departemen Kesehatan Haikin Rachmat.

"Makanya sistem sosialisasi kita lakukan kepada masyarakat luas dan juga keluarga. Penyakit ini menimbulkan rasa malu dan rendah diri, bahkan sebagian besar pasien yang meningal itu bukan karena penyakit kustanya, melainkan dari tekanan psikologis yang sangat kuat," kata Haikin Rachmat.

Selanjutnya, Haikin Rachmat mengatakan pemerintah akan menekan jumlah pengidap kusta hingga 2008 nanti. Salah satu cara menekan jumlah, adalah mengetahui jumlah mereka secara tepat. Ini susahnya, karena kebanyakan keluarga Indonesia malu memberitahu keberadaan anggota keluarga mereka yang menderita kusta. Karena itu, perintah tegas pun turun dari pusat ke jajaran di daerah. Satu tugas mereka adalah mendata secara tepat para penderita kusta hingga pelosok daerah.

Pemulihan rasa malu dan rendah diri dari para bekas penderita kusta seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah, selain upaya penyembuhan. Untuk itu, sepertinya kita bisa mengatakan pemerintah kurang memperhatikan upaya pemulihan bekas penderita kusta. Departemen Sosial pun mengakui minimnya jumlah tempat rehabilitasi bekas penderita kusta di Indonesia. Walau posisi terbesar di dunia disandang Indonesia, namun negeri ini hanya memiliki satu tempat rehabilitasi. Namun Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial Robinson Saragih berkelit, saat ini pemerintah menilai cukup dengan adanya tempat rehabilitasi di sejumlah rumah sakit dan yayasan.

"Ada dua jenis didalam dan luar panti, dalam hanya ada di Maluku Utara. Kesulitannya, masyarakat berpandangan bekas penderita kusta masih membawa penyakitnya. Padahal itu sudah sudah menular. Belum semua masyarakat umum yang mau menerima," kata Robinson Saragih.

Sosialisasi gejala dan penyembuhan penyakit kusta sepertinya menjadi salah satu bahan program penanganan penyakit ini secara menyeluruh. Masyarakat harus disadarkan sebenarnya penyakit kusta bukan kutukan dan bisa disembuhkan. Asalkan dilaporkan sedini mungkin ke pusat layanan kesehatan terdekat. Seorang dokter rumah sakit Sumberglagah, Mojokerto, Jawa Timur, Nanang Koeshardjo.

"Kita terus proaktif kelapangan dengan menyebarkan informasi, selain itu kita juga harus tau gejala awalnya, seperti bintik putih tanpa rasa apapun jika ditusuk, terutama ditangan dan kaki," ujar Nanang Koeshardjo.

Menurut dokter Nanang, kusta dapat diobati hanya dengan waktu enam bulan hingga satu tahun. Setelah itu, si penderita akan sembuh total, walau ada kemungkinan menderita cacat. Jadi, tunggu apalagi masyarakat Indonesia! Sudah saatnya kini masyarakat di sekitar bekas penderita kusta tinggal menjadi pusat rehabilitasi massal. Mendukung penyembuhan mereka dan memperlakukan mereka selayaknya seorang manusia.

Nanda Hidayat - 68H Jakarta