Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, January 20, 2005

Penampungan Air Bawah Tanah Guna Mengatasi Banjir di Jakarta

KBR 68H -20 Januari 2005

Musibah banjir yang melanda Jakarta disebabkan keadaan tanah yang lebih banyak mengandung lempung sehingga sulit menyerap air, selain itu Jakarta dilalui oleh banyak sungai. Namun Jakarta punya kelebihan dimana wilayahnya adalah dataran yang luas sehingga ideal untuk menjadi kota besar. Pengamat masalah perkotaan Marco Kusumawijaya menegaskan untuk mengatasai masalah banjir maka perlu perencanaan yang bertahap dimana harus meliputi daerah hulu dan hilir.

Marco menambahkan sebagai suatu sistem ekologis Jakarta menerima air dari langit dan juga dari daerah-daerah yang letaknya lebih tinggi disekelilingnya yang disebut daerah hilir. Untuk itu sisi hulu dan hilir harus ditangani bersama-sama. Marco menegaskan penghijauan harus dilakukan di hulu dan hilir.

Sementara itu Franky Maramis, aktivis dari Lembaga Swadaya Perberdayaan Masyarakat Minaesaan, Sulawesi Utara punya gagasan untuk mengatasi banjir dengan membuat manajemen air hujan yaitu dengan menghitung curah hujan dan membuat jalan pintas baru untuk air hujan yang berlebih. Franky menambahkan konsep banjir kanal timur yang tengah dibangun oleh Pemda DKI sudah sangat ketinggalan. Dia mengusulkan membuat terowongan dan penampungan air dibawah tanah.

Franky menambahkan air yang melalui terowongan bawah tanah itu akan langsung diarahkan ke laut tanpa melewati permukaan tanah.

Banjir Batavia, Banjir Jakarta....

Banjir, rutinitas yang selalu dihadapi sebagian masyarakat Jakarta setiap tahunnya. Berdasarkan catatan sejarah, banjir pertama kali mengepung kota bernama Batavia ini tahun 1621. Baru abad ke 20 pemerintah kolonial Belanda membangun sistem penanggulangan banjir yang dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat. Laporan ini mengenai upaya pemerintah Kolonial Belanda dalam mengatasi masalah banjir saat itu. Disusun Taufik Wijaya.

***

Jakarta kembali berselimut banjir, fenomena tahunan sejak zaman purba. Banyak peninggalan sejarah membuktikan hal ini. Tahun ini warga Jakarta kembali bergulat melawan banjir Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1621, pertama kali banjir melanda Kota Jakarta atau dulu disebut Batavia. Berikutnya banjir besar yang menelan korban jiwa terjadi pada tahun 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, dan, tahun 2002 lalu di kota yang pernah dijuluki Venesia van Oost atau "Venesia dari Timur" itu.

Julukan tersebut diberikan karena, saat itu Batavia memiliki sistem kanal yang dapat dilayari membelah kompleks bangunan megah bernuansa Eropa, tak ubahnya Bandar Venesia di Italia. Alur-alur sungai di Batavia yang berawa-rawa dibangun sedemikian rupa oleh Belanda, yang memang pakar dalam urusan air di negeri asalnya yang lebih rendah dari permukaan laut.

Pengamat masalah banjir, Wahyu Hartomo mengatakan dari sudut geomorfologis, Kota Jakarta sangat rentan terhadap ancaman banjir. Selain berada di dataran rendah, bahkan lebih rendah dari permukaan laut, Jakarta merupakan daerah aliran 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Daerah aliran 13 sungai juga menyebar merata di semua wilayah Jakarta. Di Jakarta bagian timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang. Di bagian tengah ada Sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut. Di barat ada Sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke.

"Kita bisa bayangkan, kalau 13 sungai punya dataran banjir, berapa luas dataran banjir di Jakarta? Jadi wajar, kalau disebut 40 persen kota Jakarta itu rawan banjir. Karena 13 sungai melintas Jakarta. Untuk mengatasi daerah rawan banjir, yang merupakan dataran banjir dari 13 sungai itu sangat sulit. Karena secara alamiah, kita tidak bisa membebaskan banjir dari 13 sungai itu," kata Wahyu Hartomo.

Wahyu menambahkan faktor tingginya curah hujan juga memberi sumbangan terjadinya banjir di Jakarta dan kawasan sekitarnya. Hal tersebut diperparah dengan ketidakdisiplinan pemerintah dan masyarakat memelihara lingkungan, melanggar tata ruang, langsung maupun tak langsung ikut andil bagi terjadinya banjir.

***

Ironisnya, meski banjir bagi Jakarta sudah menjadi ancaman tahunan, namun belum ada langkah strategis untuk mengatasinya secara terpadu dan menyeluruh. Kenyataan ini jelas amat berbeda dengan sikap penguasa kolonial Belanda yang menaruh perhatian serius terhadap upaya pencegahan banjir Salah seorang tokoh masyarakat betawi, Ridwan Saidi mengungkapkan untuk mencegah banjir pemerintah kolonial Belanda saat itu membangun kanal-kanal

"Dulu, ya berupa sodetan Ciliwung itu, yang di Gajahmada - Hayamwuruk, di abad 17. Setelah itu tidak ada lagi. Hanya, di zaman Belanda, pernah ada perencanaan dan pelaksanaan penggalian parit untuk membuka jalan sebanyak-banyaknya bagi air Ciliwung untuk mendapatkan muaranya di Laut Jawa. Dulu banyak kanal yang dibangun. Waktu itu memang, concern mereka pada masalah banjir memang yang utama," kata Ridwan Saidi.

Pembangunan kanal-kanal tersebut tidak lepas dari peran seorang ahli hidrolika Belanda Van Breen. Saat itu Van Breen ditugaskan oleh Departement Waterstaat memimpin Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir secara terpadu meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 2.500 hektar. Penugasan itu diterimanya setelah Kota Batavia di tahun 1918 terendam banjir yang merenggut banyak korban jiwa.

***

Rancangan penanggulangan banjir yang dikenal dengan Rencana Van Breen, bisa dinilai canggih pada masanya. Sebuah saluran kolektor--kemudian disebut banjir kanal--digali mengitari kota ke arah barat untuk membuang limpahan air ke Laut Jawa melalui Muara Angke. Jejak saluran yang dibangun tahun 1922 ini masih berfungsi hingga sekarang, yaitu yang kita kenal sebagai Pintu Air Manggarai.

Inilah yang kemudian disebut Banjir Kanal Barat. Menurut Wahyu Hartomo pembangunan Banjir Kanal Barat saat itu cukup efektif dalam menangani masalah banjir di Batavia

"Pada saat itu, memang efektif, walaupun tidak membebaskan banjir di Batavia. Karena Banjir Kanal Barat itu memotong puncak banjir, seperti Kali Cideng, Kali Krukut, Kali Angke, kemudian Kali Grogol, Kali Baru. Itu semua dipotong oleh Banjir Kanal Barat, puncak banjirnya. Dan dibuang ke laut," kata Wahyu Hartomo.

Selesai dengan Kanal Barat, Van Breen kemudian merancang saluran Kanal Timur yang berhulu di Kali Cipinang dan bermuara di Laut Jawa Namun pembangunan Kanal Timur tidak terwujud Ide Van Breen sebetulnya sederhana mengusir aliran air yang masuk Jakarta ke kiri dan kanan sehingga tak ada yang sempat jalan-jalan, apalagi betah bersemayam di kota. Tapi ide sederhana tak selalu bisa terwujud. Meski gagasan Breen itu masih menjadi semacam kiblat pembangunan saluran di Jakarta, hingga sekarang baru Kanal Barat yang terwujud. Kanal Timur pun tetap jadi impian.

Mimpi Breen tersebut lantas coba diwujudkan bekas Presiden Megawati Soekarnoputri dan Gubernur Sutiyoso pertengahan tahun 2003 silam. Saat itu Presiden meresmikan Proyek Banjir Kanal Timur senilai 4,9 triliun rupiah. Proyek yang rencananya selesai tahun 2010 ini diilhami rencana Van Breen, yaitu membuat kanal yang membentang sepanjang 23 kilometer, dengan lebar 100-300 meter dari Kali Cipinang di Jakarta Timur hingga Laut Jawa.

***

Konsep van Breen menjadi acuan bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Namun, akibat menjamurnya permukiman di bagian timur dan selatan Jakarta yang ada di luar area banjir kanal, Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius. Kenyataan ini tentu amat memalukan bagi ibukota negara yang dihuni ribuan ilmuan dan ahli-ahli teknik. Meski belum terlihat optimal hasil yang dilakukan pemerintah daerah Jakarta dalam menangani masalah banjir, kiranya semboyan Kota Batavia, yakni Dispereert Niet, atau Jangan Berputus Asa! perlu diingat terus. Masih ada harapan untuk pemda Jakarta memerangi banjir

Tim Liputan 68H Jakarta

Menunggu Cetak Biru Rekonstruksi Aceh

Aceh pasca tsunami, menyisakan banyak persoalan. Banyak hal yang mesti diperhatikan dengan sungguh-sungguh supaya Aceh bisa kembali berdiri, seperti semula. Untuk itu, perlu adanya semacam ‘cetak biru’ penanggulangan pemulihan pasca tsunami untuk Aceh. Laporan disusun Irvan Imamsyah.

***

Komisi Darurat Kemanusian KDK Aceh meminta DPR untuk segera mendesak pemerintah untuk membuat cetak biru penanggulangan pemulihan pasca bencana tsunami di Aceh. Hal ini dinilai penting agar kordinasi penanggulangan dan pemulihan Aceh dapat terlaksana dengan baik. Ketua rombongan KDK Beni Sutrisno memberi catatan penting yaitu penghentian sentimen identitas dalam penanggulangan pasca bencana. Menurut Beni, politik identitas hanya akan mengganggu kerja kemanusian di Aceh. Simak penuturannya.

"Meminta DPR untuk tidak terlibat dalam politik identitas yang tak produktif itu dan hanya akan menjatuhkan wibawa dan kredibilitas bangsa Indonesia di mata dunia maupun di hadapan rakyat Aceh," kata Beni Sutrisno membacakan pernyataan sikap Komisi Darurat Kemanusiaan.

Komisi Darurat Kemanusiaan juga mendukung pejabat Indonesia sipil dan militer yang memprioritaskan penyelamatan Aceh di atas pertimbangan politik yang berdasarkan kepentingan tertentu. Mengingatkan semua pihak dengan waktu keterlibatan relawan dan tentara asing yang harus ditentukan berdasarkan kebutuhan riil korban di lapangan, bukan oleh kepentingan dan keputusan politik sepihak.

Ia mengingatkan para pengambil keputusan, untuk melibatkan warga Aceh, dalam badan yang dibentuk pemerintah, seperti Badan Otorita Aceh.

Wakil Ketua DPR, sekaligus Ketua Tim Pengawas Penanggulangan Bencana Alam Aceh, Muhaimin Iskandar sepakat dengan KDK. Menurut Muhaiman, DPR akan segera menyampaikan hal ini kepada pemerintah. Bagaimana pun, warga Aceh membutuhkan penanggulangan dan pemulihan yang berlangsung cepat.

"Kami bersepakat bahwa justru totalitas dari berbagai pihak dan spontanitas melakukan pertolongan itu harus dengan ketulusan, tidak terjebak dalam politik identitas. Kita juga tidak serta merta terpengaruh oleh politik identitas yang artificial itu. Kita juga mendukung pejabat sipil dan militer yang memprioritaskan penyelamatan bukan kepentingan politik," kata Muhaimin.

Sementara itu, salah satu anggota KDK yang juga aktif dalam Kelompok Kerja Advokasi Aceh Khalid Muhammad menilai, pemerintah tidak peka terhadap persoalan yang kini dihadapai warga Aceh. Menurut Khalid, pemerintah seharusnya memasukkan soal-soal seperti hak kepemilikan tanah, dalam skema pemulihan Aceh.

"Meskipun badan pertanahan di sana mengatakan seluruh dokumen selamat. Tapi kalau persoalan keperdataan itu, orang2nya masih hidup, itu mudah diselesaikan. Kalau orangnya tidak ada, hal-hal seperti itu sudah sejak awal harusnya dipikirkan. Pemerintah telah menujukkan kegagalan yang sangat serius," ujar Khalid Muhammad.

Persoalan lain yang patut mendapat perhatian adalah dana masyarakat yang ada disimpan dalam bank. Hari Azhar, dari Tim Pengawas Penanggulangan Bencana Alam Aceh bentukan DPR.

"Dari 4,65 trilyun rupiah, keluar lagi ke masyarakat dan pengusaha 4,2, jadi ini juga problem. Karena sharenya terhadap APBN akan ditanggung oleh negara, menurut saya. Sharenya ini tidak besar, sekitar 1 persen. Tapi itu tetap menjadi problem. Saya tidak sependapat dengan Menteri Keuangan bahwa defisit sangat kecil. Tapi betapa pun kecil itu, itu harus tetap menjadi concern kita. Seberapa pun dana yang mengalir ke sana tidak berarti boleh dikorupsi," kata Hari Azhar.

Dana masyarakat Aceh yang kini tersimpan di bank ternyata berjumlah sampai 6,5 triliun rupiah. Tidak hanya itu, perbankan juga mengucurkan dananya kepada masyarkat sebesar 4,2 triliun rupiah untuk pembiayaan, seperti pengucuran kredit ke masyarakat. Ini, yang juga harus diperhatikan pemerintah.

Semrawutnya persoalan penanganan di Nangroe Aceh Darusalam, bukan hal baru yang kita dengar hari ini. Hingga saat ini pun, masih terdengar keluhan di sana sini, soal penanganan bantuan kemanusiaan yang tidak becus. Pemerintah mencoba menawarkan solusi lewat Badan Otorita Aceh, yang khusus dibentuk untuk merehabilitas situasi Aceh dan Sumatera Utara. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab mengatakan badan ini baru bisa terbentuk dua sampai tiga bulan mendatang. Kenapa?

"Anda tentu harus memikrikan payung hukunmya, Perpu atau rancangan undang2 yang segera disempurnakan. Itu yang harus dibicarakan dalam waktu dekat. Belum lagi kita bicara tentang keikutsertaan masyarakat dan tokoh Aceh, di mana di Badan Otorita ini pemerintah tidak ingin mengambil sikap yang meninggalkan pandangan2 perspektif, apalagi akar budaya dari masyarakat Aceh," kata Alwi Shihab.

Badan Otorita Aceh inilah yang akan menggeser peran Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi, Bakornas, yang berfungsi dalam kondisi darurat. Menurut Alwi, badan khusus ini punya kewenangan otonom, sehingga menteri terkait bisa berbagi konsentrasi dengan masalah lain. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Badan Otorita Aceh bukanlah pengganti Bakornas, karena lingkup kerja yang berbeda.

Catatan-catatan ini dibuat untuk mengingatkan pemerintah akan tugas besar dan berat mereka untuk membangkitkan Aceh kembali. Karena Aceh, memang harus segera bangkit dari nestapa.

Tim Liputan 68H Jakarta

"Asal Lokasi Tidak Jauh, Bersedia Pindah..."

Pemerintah memutuskan untuk merelokasi warga Aceh dan Sumatera Utara yang menjadi korban bencana Tsunami. Selama ini, mereka bertahan di lokasi-lokasi pengungsian. Mereka akan dipindahkan ke barak-barak semipermanen yang akan ditempati selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Dalam rekonstruksi yang lebih permanen, pemerintah akan selalu berdialog dengan masyarakat Aceh dan Sumatera Utara untuk mempertahankan ciri khas setempat. Laporan seputar relokasi warga orban bencan Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, disusun Komang Ariani.

***

Roda pemerintahan di Aceh Barat akan segera berjalan, menyusul rampungnya relokasi pengungsi korban bencana gempa dan tsunami yang sudah tiga minggu mengungsi di Kantor Bupati Aceh Barat. Warga kini direlokasikan ke penampungan sementara di kawasan Lapang, Kecamatan Johan Pahlawan; di kawasan Alue Peunyareng, Kecamatan Meyreybo; dan di Lapangan Aron Jaya Kaway VI.

Setelah Aceh Barat, Pemerintah juga berencana merelokasi ratusan ribu pengungsi yang saat ini tersebar di 64 lokasi ke sejumlah barak yang akan didirikan di 24 titik. Di barak-barak semi permanen itu mereka akan tinggal selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Di masing-masing barak ini, setiap keluarga akan menempati 1 kamar dengan dilengkapi fasilitas untuk kawasan permukiman.

Menurut Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto dengan relokasi ini pemerintah bermaksud menciutkan lokasi penampungan para pengungsi. Kalau terlalu banyak bisa menyulitkan koordinasi dalam memantau, menyalurkan bantuan dan kebutuhan penghuni barak, seperti makanan, pendidikan.

"Mereka juga akan kita bangunkan akses menuju ke tempat-tempat yang ramai, ke tempat jalan-jalan yang besar. Belum merupakan tempat tinggal akhir. Saat kita melakukan rekonstruksi akan kita atur sistem-sistem permukiman, jadi tata ruang," ujar Joko Kirmanto.

***

Di kabupaten Bierun, relokasi akan dilakukan di lima titik. Satu titik dijadwalkan sudah rampung dalam 2 minggu kedepan dengan jumlah pengungsi mencapai 4000-7000 pengungsi.

Menurut Bupati Bireun Mustafa Glanggang, di kabupatennya saat ini yang berada di berbagai titik pengungsian mencapai 16 ribu jiwa. Barak-barak yang nantinya ditempati pengungsi dibuat dari bahan papan dan seng, karena bisa dibuat dalam waktu singkat.

"Seperti barak, 3-4 orang satu barak. Dibuat dari kayu atapnya seng, lantainya papan. Ketinggian dari lantai 60 cm. setiap titik ada sampai lima-6 barak. Dilengkapi dengan pos kesehatan, pos keamanan, dapur umum, wc, sehingga mereka kita jamin hidup tenang dalam dua tahun itu," kata Mustafa Glanggang.

Menurut Mustafa Gelanggang, pemindahan penduduk dari tempat asalnya ini berjarak rata-rata 0 hingga 5 km. Dia mengatakan sebagian masyarakat memang menolak pindah dengan alasan jauh, namun pemerintah daerah menjanjikan akan menyediakan transportasi untuk mengangkut mereka.

***

Sambutan masyarakat Aceh atas rencana relokasi ini cukup beragam. Yanti misalnya salah seorang pengungsi di Ule Karing, Banda Aceh dalam keterangannya kepada reporter Prima FM Banda Aceh, Nursafri Muarif, menyatakan ia beserta keluarga tidak tahan lagi lebih lama berada di lokasi pengungsian. Jika barak-barak yang nanti mereka tempati memang lebih baik, ia menyatakan bersedia untuk pindah asalkan lokasinya tidak terlalu jauh.

"Asalkan, jangan sampai di lung karena dekat laut. Kita berharap (pindah) ke kawasan yang dekat saja," katanya.

Senada diungkapkan pengungsi lainnya bernama Sabri. Ia tidak keberatan untuk pindah asal juga dipikirkan pekerjaan di tempat asal. Selain itu berharap tempat yang baru lokasinya tidak jauh dari kota dan transportasinya lancar

Bisa dibayangkan untuk merelokasi pengungsi yang jumlahnya ratusan ribu jiwa bila satu lokasi akan dihuni sekitar 16.500 orang, sama dengan kapasitas sebuah stadion sepakbola. Apakah pemerintah sudah memikirkan berbagai aspek yang akan timbul?

***

Pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya menyarankan sebuah pendekatan berbeda untuk penanganan permukiman penduduk daripada sebuah relokasi. Hal ini jika berkaca dari apa yang dilakukan di Gujarat, India saat negara itu dilanda gempa bumi dashyat.

Menurut Marco sebaiknya masyarakat dibiarkan membangun sendiri rumahnya dan bersifat permanen. Selain menyerap tenaga kerja di Aceh, cara ini dinilai ampuh untuk menyemangati masyarakat Aceh menatap masa depan.

"Aceh (itu dalam waktu enam bulan mereka bisa membangun 22 ribu unit rumah yang disebut swabangun, pemeritah sebagai pendukung hanya menyediakan bahan bangunan..," kata Marco.

Marco menambahkan relokasi hanya akan menambah masalah baru, karena Jika relokasi tetap dilakukan, apa yang pernah terjadi di lokasi-lokasi bencana di Turki dan Kolumbia akan terjadi. Rumah-rumah ini cenderung tidak ditinggali, atau ditinggali oleh mereka yang sangat miskin untuk dijadikan pemukiman permanen. Dampak lainnya, mereka tak merasa memiliki rumah-rumah ini, karena mereka hanya termangu menunggu rumah-rumah mereka diselesaikan oleh para kontraktor.

Tim Liputan 68h Jakarta

Ribuan Warga Jakarta Pun Mengungsi...

Banjir bagi warga Jakarta sudah menjadi kegiatan rutin tahunan yang tak dapat dihindari. Hujan deras yang terus mengguyur Jakarta sejak awal pekan ini, mengakibatkan beberapa sungai meluap, mengenangi jalanan dan rumah-rumah warga. Akibatnya banyak ruas jalan mengalami kemacetan yang cukup parah. Ribuan warga bahkan terpaksa mengunggsi ke tempat-tempat yang lebih tinggi. Laporan disusun Sri Kusmiati.

***

Sejak zaman penjajahan Belanda, kota Jakarta termasuk rentan terhadap ancaman banjir. Dari sudut geomorfologis, selain lebih rendah dari permukaan laut, Jakarta merupakan daerah aliran 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Daerah aliran 13 sungai juga menyebar merata di semua wilayah Jakarta. Di Jakarta bagian timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang. Di bagian tengah ada Sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut. Di barat ada Sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke.

Faktor tingginya curah hujan juga memberi sumbangan yang signifikan terjadinya banjir di Jakarta dan kawasan sekitarnya. Demikian pula, ketidakdisiplinan pemerintah dan masyarakat memelihara lingkungan, melanggar tata ruang langsung maupun tak langsung ikut andil bagi terjadinya banjir.

Dalam sejarah, beberapa kali banjir melanda Jakarta dan merenggut korban jiwa dan harta benda penduduk. Di antaranya, tahun 1621, 1654, 1918 semasa pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan dalam beberapa dekade terakhir, banjir cukup besar terjadi tahun 1976 dan 1996, dan 2002 menelan puluhan korban jiwa. Konsorsium Masyarakat Miskin UPC mencatat, sebanyak 52 orang tewas dan tiga ratusan ribu penduduk mengungsi, akibat banjir tiga tahun lalu.

Tak heran apabila banjir menjadi momok tersendiri bagi warga Jakarta. Sejak awal pekan ini, hujan deras mulai mengguyur Jakarta, Depok, Cibinong atau Bogor untuk jangka waktu yang cukup lama. Sejumlah pintu air yang tersebar di Jakarta menunjukkan ketinggian air sudah melewati batas normal. Senin lalu, Ketinggian air di Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan, mencapai 740 centimeter. Kemarin sore, kondisinya semakin meningkat. Tinggi air di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan mencapai angka 945 sentimeter. Padahal menurut Suharjo, petugas penjaga pintu air di Manggarai, angka normal tinggi air adalah 750 sentimeter. Ia mengaku menerima ribuan telepon warga akibat kondisi itu.

Yang paling mengkhawatirkan adalah kondisi Pintu air Karet Jakarta Pusat yang telah ditetapkan statusnya siaga satu. Ketinggian di pintu ini sudah mencapai 630 sentimeter dari ambang batas normal 450 sentimeter. Warga yang rumahnya terendam air luapan sungai, otomatis diminta mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

Bukan hanya warga Karet saja yang terpaksa mengungsi. Puluhan ribu orang di wilayah Jakarta Timur juga ikut mengungsi dan dievakuasi ke beberapa lokasi, karena banjir mulai menenggelamkan rumah-rumah mereka. Warga yang bermukim di Gang Arus, Cawang; Santa Maris, Kampung Melayu; Cipinang Indah, Duren Sawit, Krama Yuda, Cililitan; dan Kebon Manggis mulai meninggalkan rumah mereka yang telah terendam air setinggi lebih dari dua meter. Hujan yang turun selama beberapa hari ini serta adanya kiriman air dari Depok, Bogor menjadi penyebab meluapnya Kali Ciliwung, Cipinang Kali Bekasi, dan Kali Sunter.

***

Luapan air kali ini juga menimbulkan masalah baru, yakni kemacetan. Sejumlah ruas jalan tergenang air, akibat genangan yang mencapai ketinggian hingga 70 cm. Kemacetan melanda sebagian besar wilayah Jakarta, seperti yang terjadi di sepanjang Jalan Tendean, Jalan Buncit Raya Jalan Gatot Subroto, Jalan MT.Haryono, Jakarta Selatan, Jalan S.Parman Jakarta Barat dan sepanjang jalan menuju Ancol dari arah Senen. Sepanjang jalan Ragunan sampai ke arah Kuningan, juga mengalami kemacetan panjang akibat genangan air yang mencapai ketinggian 30 cm.

Demikian halnya kondisi perempatan Jalan Ahmad Yani yang macet total, baik yang menuju ke arah Pulo Gadung, Cawang, Senen ataupun ke arah Tanjung Priok yang tergenang air di Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Yos Sudarso serta Jalan R Suprapto. Genangan air di sejumlah ruas jalan ini, akhirnya mengakibatkan ratusan kendaraan roda dua dialihkan ke jalur lain.

***

Akibat hujan yang terus mengguyur selama tiga hari, Jakarta sudah dinyatakan dalam kondisi siaga I. Sejak diberlakukan kondisi siaga I oleh Gubernur, maka secara otomatis Pintu air Manggarai yang sudah mencapai ketinggian 950 sentimeter atau melebihi batas normal 750 cm, sudah mulai dibuka secara perlahan-lahan. Banjir memang jadi persoalan klasik yang masih belum terpecahkan. Rumah tergenang, jalanan macet, orang mengungsi adalah hal-hal yang biasa ditemui kala banjir mulai melanda ibukota. Hal-hal seperti ini jelas menimbulkan kerugian yang besar bagi penduduk Jakarta.

Tim Liputan 68h Jakarta.