Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Monday, January 31, 2005

Pil Pahit dari Helsinki

Warga Aceh kini harus kembali menelan pil pahit. Perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia kembali menemui kegagalan. Harapan akan damai yang diharapkan dapat menyelimuti kembali bumi Serambi Mekah seolah kembali dalam khayalan. Laporan disusun Sutami.

***

"Mereka itu terlalu ego dengan nafsunya masing-masing. Tidak menggunakan akal sehat. Maka, saya harap kedua belah pihak memperhatikan suara masyarakat yang sudah lelah dengan segala kekerasan dan konflik itu," begitu kata tokoh Aceh, yang juga bekas anggota MPR, Ghazali Abbas Adan, beberapa hari lalu sebelum pertemuan informal antara delegasi pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, di Helsinki, Finlandia.

Itulah penilaian yang disampaikan bekas anggota MPR asal Aceh Ghazali Abbas Adan mengenai sebab seringnya pemerintah dan gerakan aceh merdeka, GAM gagal mencapai kata sepakat di meja perundingan. Sayangnya, kegagalan dalam mencapai kata sepakat itu, kini kembali terulang. Tak ada kata sepakat yang dihasilkan dalam perundingan yang dilangsungkan ditengah dinginnya kota Helsinki, Finlandia, kecuali sepakat untuk melanjutkan perundingan dalam waktu dekat.

Menteri Komunikasi dan Informasi yang juga merupakan salah satu anggota juru runding Indonesia, Sofyan Djalil mengungkapkan sebenarnya dalam perundingan tersebut GAM sempat menawarkan gencatan senjata selama dua hingga tiga tahun. Namun pemerintah menolak usulan itu, dengan alasan pemerintah menginginkan penyelesaian konflik secara keseluruhan dan permanen. Selain itu usulan yang diajukan GAM dinilai hanya akan menguntungkan posisi GAM di bumi Serambi Mekah.

"Mereka mengatakan, mengapa kita tidak menciptakan penghentian konflik 2-3 tahun? Baru kita lihat bagaimana menangani Aceh? Kami mengatakan, pemerintah Indonesia datang kesini justru ingin menghentikan konflik," kata Sofyan Djalil kepada 68H. "Anda lihat, pemerintah mengirim dua menteri yang diawasi seorang menteri koordinator, ini menunjukkan betapa seriusnya pemerintah ingin menghentikan konflik di Aceh. Tapi yang diinginkan pemerintah adalah penyelesaian secara menyeluruh dan permanen. Kalau yang mereka tawarkan selama 2-3 tahun, itu tidak menyelesaikan masalah. Jadi pemerintah tidak tertarik," sambung Djalil.

Selanjutnya Sofyan Djalil mengaku pertemuan lanjutan dengan GAM akan digelar dengan skema Undang-Undang Otonomi Khusus. Walau petinggi GAM belum sepakat skema tersebut, namun Sofyan mengatakan mediator perundingan dari Finlandia sudah sepakat dengan skema lanjutan itu.

Sementara itu Associated Press memberitakan, Gerakan Aceh Merdeka bersedia untuk tidak lagi menuntut kemerdekaan dari Indonesia dengan syarat pemerintah Indonesia bersedia memberikan kesempatan warga Aceh melaksanakan Referendum dalam jangka waktu lima hingga sepuluh tahun mendatang.

Kegagalan dalam perundingan antara pemerintah dengan GAM memang menimbulkan kekecewaan di hati warga Aceh. Amru Alba, warga Lhokseumawe, Aceh Utara misalnya, menilai kegagalan perundingan yang berakhir kemarin berarti menambah panjang masa rakyat Aceh hidup dalam suasana ketakutan. Pemerintah dan GAM seharusnya lebih memikirkan nasib rakyat Aceh yang terus menerus menderita akibat konflik bersenjata. Ditambah lagi kehancuran aceh akibat bencana tsunami bulan lalu.

"Kita sebenarnya menginginkan Aceh damai. Warga Aceh menginginkan tidak ada perang lagi. Soal siapa yang mengendalikan Aceh, apakah pemerintah Indonesia atau bukan, itu bukan soal kami. Yang sangat tidak diinginkan adalah perang yang terus berlanjut," kata Amru.

Ia meminta, pemerintah Indonesia dan GAM mempunyai kesepakatan untuk meredam peperangan dahulu. "Kalau sama-sama pada pendiriannya, agak sulit juga. Seharusnya mereka memikirkan kepentingan rakyat Aceh, dan bukan kepentingan pribadi," tambahnya.

Senada dengan Amru, supriyadi yang juga tinggal di Lhokseumawe, Aceh Utara menyesalkan gagalnya perundingan. Namun gagalnya mencapai kata sepakat, bagi pria yang akrab di sapa dengan Adi ini, bukan berarti pemerintah dan GAM bisa menghiraukan rakyat Aceh. Dua pihak ini menurutnya harus memikirkan pembangunan kembali Aceh yang kini telah porak poranda di hantam air bah.

"Yang belum mereka pikirkan, adalah bagaimana membangun Aceh ke depan. Pemerintah dan GAM harus memikirkan masalah itu, bagaimana memikirkan nasib warga Aceh yang kini terpuruk. Masih banyak warga Aceh yang belum bisa kembali ke rumahnya, karena memang tidak punya tempat tinggal? Bagaimana mencari keluarga yang hilang?" kata Adi.

Kekecewaan juga muncul dari bekas anggota MPR asal Aceh, Ghazali Abas Adan. Baik GAM maupun pemerintah menurut Ghazali, terlalu keras mempertahankan ambisi mereka masing-masing. Namun, harapan yang digantungkan terhadap perundingan berikutnya, menurut Ghazali harus tetap dipupuk. Penyelesaian lewat meja perundingan memang membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang cukup besar. Namun perundingan menurut Ghazali merupakan penyelesaian terbaik bagi rakyat Aceh dibandingkan dengan konflik bersenjata.

"Namanya perundingan kan 'alot. Apalagi masalah Aceh sudah lama berlangsung. Sudah banyak korban, dan macam-macam pengorbanan lainnya. Karena itu, para perunding harus sabar. Memang melelahkan, pikiran dan juga dana. Tapi tidak melelahkan bagi rakyat. Beda dengan perang, yang bisa jatuh korban banyak. Kalau dialog, memang prosesnya lama, tapi kemungkinan tidak jatuh korban," kata Ghazali Abbas. Ia meminta kedua pihak yang berunding tidak lagi ngotot dengan keinginan pribadi atau bersikap arogansi yang bisa menyengsarakan rakyat. "Kalau arogan, justru menyengsarakan rakyat. Rakyat tak lagi percaya pada kedua pihak," lanjut Ghazali Abbas.

Berunding memang tidak mudah, butuh waktu, kesabaran dan kebesaran hati untuk melepas ego masing-masing. Warga aceh pun punya kesabaran yang cukup besar untuk mengikuti jalannya perundingan, mengharap damai dapat menyapa kembali di tanah rencong yang kini tengah di rudung duka.

Tim Liputan 68H Jakarta