Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Monday, January 31, 2005

Dicari, Manajer Handal Untuk Memimpin PAN

Umurnya hampir 7 tahun. Layaknya partai politik lainnya, Partai Amanat Nasional (PAN) juga punya persoalan besar dalam hal regenerasi kepemimpinan setelah pengunduran diri Amien Rais. Sosok Amien yang kharismatis dan punya banyak pengikut fanatik, dinilai gagal menyebarkan ajaran PAN yang inklusif. Kaderisasi tak berjalan mulus, sementara pemimpin baru harus segera dipilih, guna mewujudkan PAN yang lebih terbuka dan demokratis. Bagaimana suara PAN menghendaki pemimpinnya dan siapa saja yang namanya dijagokan? Laporan disusun Sri Kusmiati.

***

Memasuki tahun ke-tujuh partai berlambang matahari terbit mulai menghadapi tantangan baru. Pasca pernyataan mundur Ketua Umum PAN Amien Rais, dari jabatannya, 19 Desember 2004, partai ini mulai kehilangan figur utamanya yang dikenal sebagai tokoh reformis. Dengan alasan demi kelancaran regenerasi kepemimpinan agar partai menjadi terbuka dan lebih demokratis, Amien berharap agar Kongres PAN II pada April mendatang di Semarang, Jawa Tengah, bisa memunculkan tokoh-tokoh muda yang lebih bersemangat.

Harapan Amien itu rupanya gayung bersambut. Papan catur persaingan kandidat penggantinya mulai ramai diisi para pemain. Sejumlah nama baik dari kalangan agamawan, tokoh masyarakat, pengusaha hingga menteri mulai mencuat ke permukaan. Sejumlah nama itu adalah Din Syamsuddin, Fuad Bawazir, Hatta Radjasa, Sutrisno Bachir, Didik J. Rachbini, Farhan Hamid, AM Fatwa dan Afni Achmad.

Ketua Panitia Kongres kedua PAN, Hakam Nadja menyatakan, meski hingga kini belum ada pendaftaran resmi dari sejumlah Dewan Perwakilan Daerah(DPD) soal calon kandidat Ketua umum PAN, para kandidat tersebut sudah mulai turun ke lapangan. Mereka mulai mengkampanyekan agenda masing-masing. Daerah-daerah yang memiliki jumlah peserta paling banyak seperti di Pulau Jawa, akan menjadi wilayah yang paling diperebutkan oleh para kandidat itu.

"Saat ini masih sangat cair. Masing-masing kandidat masih saling mengukur. Biasanya yang diperebutkan itu daerah yang mempunyai jumlah peserta paling besar; Jawa Barat 25 peserta, Jawa Tengah 35 peserta, Jawa Timur 38 peserta. Dari perkembangan di lapangan, para kandidat baru sounding, masih wait and see," kata Hakam Nadja.

Lihat saja langkah yang mulai dibangun oleh bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier. Dalam dalam diskusi publik bertajuk Strategi Politik Kebangsaan Muhammadiyah di Jakarta, ia optimistis dapat menggantikan Amien Rais sebagai pucuk pimpinan. Ia bahkan berjanji akan membawa PAN masuk tiga besar dalam pemilihan umum 2009. Kesiapannya untuk terus maju di Kongres PAN, dia ungkapkan dengan pengakuan bahwa dia telah mengantongi sejumlah dukungan dari semua pihak, sesuai dengan ideologi PAN sebagai partai terbuka.

Berbeda dengan Fuad, Didik berjanji membenahi sistem organisasi partai ke arah yang lebih profesional. Menurut dia, Hal ini dapat tercapai dengan memberikan wewenang lebih besar kepada para pengurus daerah.

Sementara anggota DPR, Ahmad Farhan Hamid lebih suka mengganti istilah kampanye dengan tukar pikiran. Sejauh ini dia telah mengunjungi sejumlah daerah dan wilayah guna menyebarkan idenya untuk meng-go public-kan PAN lewat kader-kadernya.

"Ke depan, dengan meningkatkan kerja dari kader partai, memperkenalkan partai lebih luas pada publik, dan menjadikan mereka sebagai tauladan di daerah masing-masing, saya berharap partai ini mendapat dukungan dari masyarakat," kata Farhan Hamid.

Kalau Fuad, Didik dan Farhan cukup optimistis dengan pencalonan mereka, tidak begitu halnya dengan deklarator PAN AM Fatwa. Ia mengaku merasa malu hati untuk maju karena Ketua Umum PAN Amien Rais sendiri telah menganjurkan adanya regenerasi.

Sementara Dien Syamsudin malah bersikap elegan. Tokoh Muhammadiyah yang cukup mendapat angin segar, karena mendapat dukungan dari hampir seluruh DPW yang hadir pada pertemuan pra-Kongres di Surabaya, Jawa Timur, 13 Januari lalu, beralasan dia masih berkonsentrasi pada jalur dakwah dan agama di Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Namun nampaknya sikap Dien itu tidak terlalu dipusingkan oleh para pendukungnya di Jawa Timur. Sikap itu justru jadi nilai plus bagi mereka. Ketua DPD PAN Jawa Timur, Sulthon Amin, keburu percaya dan menaruh harapan besar terhadap figur Din Syamsudin. Ia dinilai mampu menjembatani partai secara lintas agama dan bisa diterima semua lapisan.

"Figur semacam Dien ini yang dibutuhkan, untuk mengkomunikasikan partai ini dengan bahasa agama, bahasa lintas agama, bahasa kultural. Figur Dien bisa diterima dimana-mana. Figur ini bisa menggantikan figur sekaliber Amien Rais. Meskipun, keduanya punya kelebihan masing-masing," kata Sulthon Amin.

Melihat geliatnya persaingan para kandidat ketua umum PAN tersebut, Pakar politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit menilai partai ini tengah mengalami kesulitan mencari sosok pemimpin baru guna menggantikan Amien Rais. Pasalnya, kaum intelektual yang identik dengan partai ini, enggan berpolitik. Oleh sebab itu, proses kaderisasi yang berjalan tidak maksimal. Para kader maupun tokoh-tokoh yang sangat ambisius menduduki jabatan Ketua pun dinilainya tidak cukup punya kekuatan guna mengimbangi pamor Amien Rais sebagai pemimpin partai.

"Fuad Bawazier itu terlalu kental warna Orde Baru. Reputasinya dalam politik saya kira tidak begitu hebat untuk menjadi pemimpin. Apalagi pemimpin partai intelektual seperti PAN. PAN akan mengalami kemunduran di bawah Fuad Bawazier, dan banyak orang akan keluar dari PAN kalau dipimpin dia. Sementara, Dien Syamsuddin, mungkin akan lebih dipercaya banyak orang sebagai pemimpin PAN. Tapi dia seorang peragu juga. Kalau Didiek Rachbini, mungkin lebih tepat, lebih loyal, lebih penuh. Tapi, dia belum lama di PAN, sehingga kiprahnya menjalankan roda PAN belum bisa menunjukkan pertanda-pertanda bagus," begitu amatan Arbi Sanit.

Guna bertahan dan mengembangkan diri sebgai partai politik yang cukup besar, Arbi berpesan agar PAN sebagai partai kaum intelektual, mengembangkan diri sebagai partai kader. Pasalnya, mereka tidak bisa mengandalkan loyalitas massa secara total, atau suara kaum Muhammadiyah yang dinilai Arbi terlalu kecil, guna memenangkan politik secara nasional.

Tim Liputan 68H Jakarta