Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, January 20, 2005

Banjir Batavia, Banjir Jakarta....

Banjir, rutinitas yang selalu dihadapi sebagian masyarakat Jakarta setiap tahunnya. Berdasarkan catatan sejarah, banjir pertama kali mengepung kota bernama Batavia ini tahun 1621. Baru abad ke 20 pemerintah kolonial Belanda membangun sistem penanggulangan banjir yang dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat. Laporan ini mengenai upaya pemerintah Kolonial Belanda dalam mengatasi masalah banjir saat itu. Disusun Taufik Wijaya.

***

Jakarta kembali berselimut banjir, fenomena tahunan sejak zaman purba. Banyak peninggalan sejarah membuktikan hal ini. Tahun ini warga Jakarta kembali bergulat melawan banjir Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1621, pertama kali banjir melanda Kota Jakarta atau dulu disebut Batavia. Berikutnya banjir besar yang menelan korban jiwa terjadi pada tahun 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, dan, tahun 2002 lalu di kota yang pernah dijuluki Venesia van Oost atau "Venesia dari Timur" itu.

Julukan tersebut diberikan karena, saat itu Batavia memiliki sistem kanal yang dapat dilayari membelah kompleks bangunan megah bernuansa Eropa, tak ubahnya Bandar Venesia di Italia. Alur-alur sungai di Batavia yang berawa-rawa dibangun sedemikian rupa oleh Belanda, yang memang pakar dalam urusan air di negeri asalnya yang lebih rendah dari permukaan laut.

Pengamat masalah banjir, Wahyu Hartomo mengatakan dari sudut geomorfologis, Kota Jakarta sangat rentan terhadap ancaman banjir. Selain berada di dataran rendah, bahkan lebih rendah dari permukaan laut, Jakarta merupakan daerah aliran 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Daerah aliran 13 sungai juga menyebar merata di semua wilayah Jakarta. Di Jakarta bagian timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang. Di bagian tengah ada Sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut. Di barat ada Sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke.

"Kita bisa bayangkan, kalau 13 sungai punya dataran banjir, berapa luas dataran banjir di Jakarta? Jadi wajar, kalau disebut 40 persen kota Jakarta itu rawan banjir. Karena 13 sungai melintas Jakarta. Untuk mengatasi daerah rawan banjir, yang merupakan dataran banjir dari 13 sungai itu sangat sulit. Karena secara alamiah, kita tidak bisa membebaskan banjir dari 13 sungai itu," kata Wahyu Hartomo.

Wahyu menambahkan faktor tingginya curah hujan juga memberi sumbangan terjadinya banjir di Jakarta dan kawasan sekitarnya. Hal tersebut diperparah dengan ketidakdisiplinan pemerintah dan masyarakat memelihara lingkungan, melanggar tata ruang, langsung maupun tak langsung ikut andil bagi terjadinya banjir.

***

Ironisnya, meski banjir bagi Jakarta sudah menjadi ancaman tahunan, namun belum ada langkah strategis untuk mengatasinya secara terpadu dan menyeluruh. Kenyataan ini jelas amat berbeda dengan sikap penguasa kolonial Belanda yang menaruh perhatian serius terhadap upaya pencegahan banjir Salah seorang tokoh masyarakat betawi, Ridwan Saidi mengungkapkan untuk mencegah banjir pemerintah kolonial Belanda saat itu membangun kanal-kanal

"Dulu, ya berupa sodetan Ciliwung itu, yang di Gajahmada - Hayamwuruk, di abad 17. Setelah itu tidak ada lagi. Hanya, di zaman Belanda, pernah ada perencanaan dan pelaksanaan penggalian parit untuk membuka jalan sebanyak-banyaknya bagi air Ciliwung untuk mendapatkan muaranya di Laut Jawa. Dulu banyak kanal yang dibangun. Waktu itu memang, concern mereka pada masalah banjir memang yang utama," kata Ridwan Saidi.

Pembangunan kanal-kanal tersebut tidak lepas dari peran seorang ahli hidrolika Belanda Van Breen. Saat itu Van Breen ditugaskan oleh Departement Waterstaat memimpin Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir secara terpadu meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 2.500 hektar. Penugasan itu diterimanya setelah Kota Batavia di tahun 1918 terendam banjir yang merenggut banyak korban jiwa.

***

Rancangan penanggulangan banjir yang dikenal dengan Rencana Van Breen, bisa dinilai canggih pada masanya. Sebuah saluran kolektor--kemudian disebut banjir kanal--digali mengitari kota ke arah barat untuk membuang limpahan air ke Laut Jawa melalui Muara Angke. Jejak saluran yang dibangun tahun 1922 ini masih berfungsi hingga sekarang, yaitu yang kita kenal sebagai Pintu Air Manggarai.

Inilah yang kemudian disebut Banjir Kanal Barat. Menurut Wahyu Hartomo pembangunan Banjir Kanal Barat saat itu cukup efektif dalam menangani masalah banjir di Batavia

"Pada saat itu, memang efektif, walaupun tidak membebaskan banjir di Batavia. Karena Banjir Kanal Barat itu memotong puncak banjir, seperti Kali Cideng, Kali Krukut, Kali Angke, kemudian Kali Grogol, Kali Baru. Itu semua dipotong oleh Banjir Kanal Barat, puncak banjirnya. Dan dibuang ke laut," kata Wahyu Hartomo.

Selesai dengan Kanal Barat, Van Breen kemudian merancang saluran Kanal Timur yang berhulu di Kali Cipinang dan bermuara di Laut Jawa Namun pembangunan Kanal Timur tidak terwujud Ide Van Breen sebetulnya sederhana mengusir aliran air yang masuk Jakarta ke kiri dan kanan sehingga tak ada yang sempat jalan-jalan, apalagi betah bersemayam di kota. Tapi ide sederhana tak selalu bisa terwujud. Meski gagasan Breen itu masih menjadi semacam kiblat pembangunan saluran di Jakarta, hingga sekarang baru Kanal Barat yang terwujud. Kanal Timur pun tetap jadi impian.

Mimpi Breen tersebut lantas coba diwujudkan bekas Presiden Megawati Soekarnoputri dan Gubernur Sutiyoso pertengahan tahun 2003 silam. Saat itu Presiden meresmikan Proyek Banjir Kanal Timur senilai 4,9 triliun rupiah. Proyek yang rencananya selesai tahun 2010 ini diilhami rencana Van Breen, yaitu membuat kanal yang membentang sepanjang 23 kilometer, dengan lebar 100-300 meter dari Kali Cipinang di Jakarta Timur hingga Laut Jawa.

***

Konsep van Breen menjadi acuan bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Namun, akibat menjamurnya permukiman di bagian timur dan selatan Jakarta yang ada di luar area banjir kanal, Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius. Kenyataan ini tentu amat memalukan bagi ibukota negara yang dihuni ribuan ilmuan dan ahli-ahli teknik. Meski belum terlihat optimal hasil yang dilakukan pemerintah daerah Jakarta dalam menangani masalah banjir, kiranya semboyan Kota Batavia, yakni Dispereert Niet, atau Jangan Berputus Asa! perlu diingat terus. Masih ada harapan untuk pemda Jakarta memerangi banjir

Tim Liputan 68H Jakarta