Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, January 20, 2005

Menunggu Cetak Biru Rekonstruksi Aceh

Aceh pasca tsunami, menyisakan banyak persoalan. Banyak hal yang mesti diperhatikan dengan sungguh-sungguh supaya Aceh bisa kembali berdiri, seperti semula. Untuk itu, perlu adanya semacam ‘cetak biru’ penanggulangan pemulihan pasca tsunami untuk Aceh. Laporan disusun Irvan Imamsyah.

***

Komisi Darurat Kemanusian KDK Aceh meminta DPR untuk segera mendesak pemerintah untuk membuat cetak biru penanggulangan pemulihan pasca bencana tsunami di Aceh. Hal ini dinilai penting agar kordinasi penanggulangan dan pemulihan Aceh dapat terlaksana dengan baik. Ketua rombongan KDK Beni Sutrisno memberi catatan penting yaitu penghentian sentimen identitas dalam penanggulangan pasca bencana. Menurut Beni, politik identitas hanya akan mengganggu kerja kemanusian di Aceh. Simak penuturannya.

"Meminta DPR untuk tidak terlibat dalam politik identitas yang tak produktif itu dan hanya akan menjatuhkan wibawa dan kredibilitas bangsa Indonesia di mata dunia maupun di hadapan rakyat Aceh," kata Beni Sutrisno membacakan pernyataan sikap Komisi Darurat Kemanusiaan.

Komisi Darurat Kemanusiaan juga mendukung pejabat Indonesia sipil dan militer yang memprioritaskan penyelamatan Aceh di atas pertimbangan politik yang berdasarkan kepentingan tertentu. Mengingatkan semua pihak dengan waktu keterlibatan relawan dan tentara asing yang harus ditentukan berdasarkan kebutuhan riil korban di lapangan, bukan oleh kepentingan dan keputusan politik sepihak.

Ia mengingatkan para pengambil keputusan, untuk melibatkan warga Aceh, dalam badan yang dibentuk pemerintah, seperti Badan Otorita Aceh.

Wakil Ketua DPR, sekaligus Ketua Tim Pengawas Penanggulangan Bencana Alam Aceh, Muhaimin Iskandar sepakat dengan KDK. Menurut Muhaiman, DPR akan segera menyampaikan hal ini kepada pemerintah. Bagaimana pun, warga Aceh membutuhkan penanggulangan dan pemulihan yang berlangsung cepat.

"Kami bersepakat bahwa justru totalitas dari berbagai pihak dan spontanitas melakukan pertolongan itu harus dengan ketulusan, tidak terjebak dalam politik identitas. Kita juga tidak serta merta terpengaruh oleh politik identitas yang artificial itu. Kita juga mendukung pejabat sipil dan militer yang memprioritaskan penyelamatan bukan kepentingan politik," kata Muhaimin.

Sementara itu, salah satu anggota KDK yang juga aktif dalam Kelompok Kerja Advokasi Aceh Khalid Muhammad menilai, pemerintah tidak peka terhadap persoalan yang kini dihadapai warga Aceh. Menurut Khalid, pemerintah seharusnya memasukkan soal-soal seperti hak kepemilikan tanah, dalam skema pemulihan Aceh.

"Meskipun badan pertanahan di sana mengatakan seluruh dokumen selamat. Tapi kalau persoalan keperdataan itu, orang2nya masih hidup, itu mudah diselesaikan. Kalau orangnya tidak ada, hal-hal seperti itu sudah sejak awal harusnya dipikirkan. Pemerintah telah menujukkan kegagalan yang sangat serius," ujar Khalid Muhammad.

Persoalan lain yang patut mendapat perhatian adalah dana masyarakat yang ada disimpan dalam bank. Hari Azhar, dari Tim Pengawas Penanggulangan Bencana Alam Aceh bentukan DPR.

"Dari 4,65 trilyun rupiah, keluar lagi ke masyarakat dan pengusaha 4,2, jadi ini juga problem. Karena sharenya terhadap APBN akan ditanggung oleh negara, menurut saya. Sharenya ini tidak besar, sekitar 1 persen. Tapi itu tetap menjadi problem. Saya tidak sependapat dengan Menteri Keuangan bahwa defisit sangat kecil. Tapi betapa pun kecil itu, itu harus tetap menjadi concern kita. Seberapa pun dana yang mengalir ke sana tidak berarti boleh dikorupsi," kata Hari Azhar.

Dana masyarakat Aceh yang kini tersimpan di bank ternyata berjumlah sampai 6,5 triliun rupiah. Tidak hanya itu, perbankan juga mengucurkan dananya kepada masyarkat sebesar 4,2 triliun rupiah untuk pembiayaan, seperti pengucuran kredit ke masyarakat. Ini, yang juga harus diperhatikan pemerintah.

Semrawutnya persoalan penanganan di Nangroe Aceh Darusalam, bukan hal baru yang kita dengar hari ini. Hingga saat ini pun, masih terdengar keluhan di sana sini, soal penanganan bantuan kemanusiaan yang tidak becus. Pemerintah mencoba menawarkan solusi lewat Badan Otorita Aceh, yang khusus dibentuk untuk merehabilitas situasi Aceh dan Sumatera Utara. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab mengatakan badan ini baru bisa terbentuk dua sampai tiga bulan mendatang. Kenapa?

"Anda tentu harus memikrikan payung hukunmya, Perpu atau rancangan undang2 yang segera disempurnakan. Itu yang harus dibicarakan dalam waktu dekat. Belum lagi kita bicara tentang keikutsertaan masyarakat dan tokoh Aceh, di mana di Badan Otorita ini pemerintah tidak ingin mengambil sikap yang meninggalkan pandangan2 perspektif, apalagi akar budaya dari masyarakat Aceh," kata Alwi Shihab.

Badan Otorita Aceh inilah yang akan menggeser peran Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi, Bakornas, yang berfungsi dalam kondisi darurat. Menurut Alwi, badan khusus ini punya kewenangan otonom, sehingga menteri terkait bisa berbagi konsentrasi dengan masalah lain. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Badan Otorita Aceh bukanlah pengganti Bakornas, karena lingkup kerja yang berbeda.

Catatan-catatan ini dibuat untuk mengingatkan pemerintah akan tugas besar dan berat mereka untuk membangkitkan Aceh kembali. Karena Aceh, memang harus segera bangkit dari nestapa.

Tim Liputan 68H Jakarta